Pengunjung
sidang ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya tidak kuasa menahan
tangis saat menghadiri sidang Dahlan Iskan (13/12/2016). Mereka
meneteskan air mata saat mengetahui pengorbanan dan beratnya
perjuangan Dahlan ketika menghidupkan PT Panca Wira Usaha (PWU) Jawa
Timur yang ketika itu sedang sekarat. Kini dia malah diseret ke
pengadilan karena dituduh korupsi saat mati-matian menyelamatkan BUMD
tersebut.
Hal
tersebut terungkap dalam sidang Dahlan dengan agenda pembacaan
eksepsi. Bapak dua anak itu, menyusun eksepsi sendiri dan membacakan
sendiri pula. Selama sebelas menit, Dahlan membacakan surat keberatan
atas surat dakwaan jaksa itu yang isinya mengaduk-aduk perasaan
pengunjung sidang.
Salah
satunya ketika membeberkan rahasia pengorbanannya dalam menghidupkan
PT PWU. Awalnya, Dahlan sempat bimbang karena rahasia itu merupakan
bentuk pengabdiannya yang tulus. Tapi, Dahlan merasa terpaksa
mengungkapkan untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi.
Salah
satunya cerita Dahlan bahwa dia menjaminkan harta pribadinya ke bank
agar mendapat pinjaman duit untuk pengembangan usaha PT PWU. Tanpa
dikomando, pengunjung sidang kompak terpana sembari bersuara oowhh.
Suasana
mendadak hening saat suara Dahlan tercekat ketika dia menyebut bahwa
masih ada yang jauh lebih besar lagi pertaruhan hartanya untuk
membuat PT PWU tidak terpuruk. ”Tapi izinkan yang satu ini tidak
saya ungkap agar masih ada tersisa sedikit pahala untuk saya di sisi
Yang Maha Kuasa,” ucap Dahlan dengan suara serak tapi masih sangat
jelas terdengar dari bangku pengunjung sidang.
Keberatan
yang disusun Dahlan membuat tiga tokoh nasional berdecak kagum.
Mereka adalah Abraham Samad, Efendi Gozali, dan Faisal Basri.
Ketiganya yang duduk di bangku pengunjung paling depan, sangat
antusias menyimak Dahlan ketika membacakan eksepsi. Tidak terhitung
berapa kali mereka berbisik saat mendengar keberatan Dahlan yang
isinya tegas tapi miris.
Setelah
Dahlan, giliran tim pengacaranya yang membacakan eksepsi. Tim
pengacara Dahlan mengatakan bahwa Pengadilan Tipikor Surabaya tidak
berhak menyidangkan perkara tersebut. Alasannya, tuduhan
penyelewengan terhadap Dahlan tidak masuk dalam delik pidana korupsi.
Sebab kerugian yang disebut jaksa, bukan merupakan kerugian negara,
tetapi kerugian perseroan.
Yusril
Ihza Mahendra, salah seorang pengacara Dahlan menjelaskan, Dahlan
dianggap melakukan korupsi karena menjual aset PT PWU di Kediri dan
Tulungagung. Dalam dakwaannya, jaksa menganggap aset PT PWU tersebut,
sebagai barang daerah. Karena itulah, penjualannya harus berdasar
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11
Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Isinya,
pelaksanaan penjualan aset, ditetapkan oleh keputusan kepala daerah
dan setelah mendapat persetujuan DPRD.
Menurut
Yusril, berdasar Perda Nomor 3 Tahun 1999, aset Pemprov Jatim dalam
PT PWU berbentuk saham. Jumlahnya, 127.167.117 lembar saham.
Sedangkan obyek tanah dan bangunan, sesuai perda tersebut merupakan
kekayaan perseroan. Nah, berdasar Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri di atas, lanjut Yusril, saham tidak termasuk dalam kategori
barang daerah. ”Karena itulah, tuduhan jaksa bahwa penjualan lahan
di Kediri dan Tulungagung bertentangan dengan Kepmendagri, adalah
tidak berdasar,” tegasnya.
Karena
obyek tanah dan bangunan di Kediri dan di Tulungagung tidak termasuk
kategori barang daerah dan merupakan kekayaan PT PWU, maka segala
perbuatan hukum, yang dijalankan direksi perseroan, tunduk pada
anggaran dasar PT dan undang–undang perseroan. Kalau pun dianggap
ada kerugian, maka disebut sebagai kerugian perseroan, bukan kerugian
negara.
Yusril
menambahkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban selaku direktur utama
atas pelaksanaan program restrukturisasi aset, Dahlan telah
melaporkannya kepada pemegang saham dalam RUPS PT. PWU Jatim. Dari
rapat tersebut pun, para pemegang saham menyatakan menerima laporan
pertanggungjawaban itu dengan baik.
Selama
dipimpin Dahlan, PT PWU tidak pernah mengalami kerugian. Pada awal
menjabat, nilai aset persero lebih kurang Rp 200 miliar dan meningkat
menjadi sekitar Rp 500 miliar saat Dahlan mengakhiri jabatan sebagai
direktur utama. Selama sembilan tahun menjabat, tidak ada hasil RUPS
PT PWU yang menyebut bahwa Dahlan melakukan perbuatan melawan hukum
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
melekat padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai direksi. (*)